Siraman Tombak Kyai Upas
Pada akhir Pemerintahan
Mojopahit banyak keluarga raja yang membuang gelarnya sebagai bangsawan dan
melarikan diri ke Bali, Jawa Tengah, Jawa Barat.
Salah seorang keluarga raja
bernama WONOBOJO melarikan diri ke Jawa Tengah dan babad hutan disekitar
wilayah Mataram sekat rawa Pening Ambarawa. Wonobojo mempunyai anak yang
bernama MANGIR.
Setelah Wonobojo dapat
membabat hutan maka ia bergelar Ki Wonobojo, dan dukuh tersebut dinamakan dukuh
MANGIR sesuai dengan nama puteranya.
Pada suatu hari Ki Wonobojo
mengadakan selamatan BERSIH DESA.
Banyak pemuda pemudi yang
membantu didapur. Diantara orang-orang yang berada di dapur terdapat seorang
pemudi yang lupa membawa pisau, dan terpaksa meminjam pisau dari Ki Wonobojo.
Ki Wonobojo bersedia meminjaminya, tetapi karena pisau yang dipinjamkan itu
pisau pusaka, maka ada pantangannya, ialah jangan sekali-2 ditaruh dipangkuan.
Tetapi sang pemudi itu lupa.
Pada waktu ia beristirahat, pisau itu dipangkunya, dan seketika itu musnahlah
pusaka tadi. Dengan hilangnya pisau tersebut sang pemudi hamil.
Ia menangis dan menceritakan
persoalan ini kepada Ki Wonobojo.
Ki Wonobojo sangat prihatin,
dan pergi bertanya di puncak gunung Merapi.
Ketika telah datang saatnya
melahirkan, maka sang ibu yang hamil itu bukannya melahirkan bayi, tetapi
berupa Ular Naga. Ular itu diberi nama BARU KLINTING. Baru Klinting dibesarkan
di rawa pening. Setelah menjadi dewasa, maka ia menanyakan siapa ayahnya, dan
dijawab oleh sang ibu bahwa ayahnya ialah Ki Wonobojo yang pada waktu itu
sedang bertapa di puncak gunung Merapi.
Baru
Klinting menyusul ayahnya, pergi ke gunung Merapi.ki Wonobojo
mau mengakui sebagai anaknya, asalkan Baru Klinting dapat melingkari puncak
Merapi.
Baru Klinting segera mencoba
melingkarinya, tetapi ketika kurang sedikit ia menjulurkan lidah untuk
menyambung antara kepala dan ekornya. Ki Wonobojo setelah mengetahui hal itu
segera memotong lidah Baruklinting terebut, yang mana setelah putus lalu
berubah menjadi sebilah tombak.
Baru Klinting melarikan diri
ke selatan, dan setelah mengetahui bahwa Ki Wonobojo mengejarnya, ia lalu
menyeburkan diri ke laut yang kemudian berubah menjadi sebatang kayu. Kayu
tersebut diambil oleh Ki Wonobojo dan dipergunakan sebagai LANDEAN dari pada
tombaknya. Tombak tersebut dinamakan KYAI UPAS, dan ketika Ki Wonobojo
meninggal dunia, pusaka itu dimiliki oleh puteranya yang bernama Mangir.
Setelah ia menggantikan
kedudukan ayahnya lalu bergelar Ki Adjar Mangir.
Ki Adjar Mangir menjadi
seorang yang kebal karena pusakanya. Desanya menjadi ramai dan banyak pendatang
yang bertempat tinggal di situ.
Ki Adjar Mangir akhirnya tak
mau tunduk kepada Mataram, dan ingin berdiri sendiri. Ia melepaskan diri dari
ikatan kekuasaan raja.
Setelah sang raja mengetahui
tindakan Ki Adjar, maka lalu diadakan musyawrah dengan keluarga Kraton,
bagaimana caranya agar dapat menundukan Ki Adjar Mangir kembali. Kalau diadakan
kekerasan tak mungkin karena Ki Adjar memiliki senjata ampuh sebagai pusaka
kepercayaannya.
Bilamana Mataram menang,
tidak akan harum namanya tetapi andaikata kalah tentu sangat memalukan.
Akhirnya diperoleh suatu cara yang dapat memancing ikan tetapi tidak
mengeruhkan airnya. Dikirimkannyalah rombongan telik sandi yang berpura-pura
mbarang jantur untuk menyelidiki kelemahan Ki Adjar Mangir. Putra putri dari
sang Raja telah dikorbankan untuk menjadi waranggono dan masuk ke desa Mangir.
Jebagan sang Raja mengenai sasarannya.
Ketika Ki Mangir mengetahui
ada orang mbarang jantur, dan waranggononya kelihatan cantik, maka ia
terpikatlah.
Setelah menangkapnya, maka
tertariklah ia akan kecantikannya sang laku sandi, sehingga kemudian terpaksa
ditanyakan untuk dijadian istrinya. Terjadilah perkawinan antara Ki Mangir dan
putri Raja.
Setelah lama hidup bersuami
istri, maka pada suatu hari sang Putri menceritakan bahwa sebenarnya ia berasal
dari Mataram, termasuk keluarga bahkan putra putri dari sang Radja.
Ia mengatakan meskipun radja
Mataram itu musuh daripada Ki Mangir, namun mengingat bahwa sekarang ia menjadi
mertuanya, malah tidak sebaiknya sebagai putra menantu mau menghadap untuk
menghaturkan sembah bakti.
Bilamana Ki Adjar Mangir
dianggap berdosa dan bersalah, maka sang Putri berserdia memohonkan maaf kepada
sang Raja sebagai ayahnya.
Dari desakan istrinya
akhirnya Ki Adjar Mangir meluluskan permohonan sang Putri dan bersama-sama
menghadap Raja. Pusaka tombak juga dibawanya. Tetapi karena tujuannya untuk
menghaturkan sembah bakti, maka pusaka tersebut tidak dibawanya masuk kraton.
Alkisah ketika Ki Mangir sedang menghaturkan sungkem kepada Raja, maka
kepalanya dipegang oleh bapak mertuanya dan dibenturkan pada tempat duduknya
yang dibuat dari batu pualam, sehingga Ki Adjar Mangir meninggal pada saat itu
juga. Batu ntuk membenturkan kepala Ki Adjar itu menurut ceritera masih ada,
ialah di Kota Gede dan disebut WATU GATENG, yang mana sekarang menjadi objek
touris.
Ki Adjar Mngir dimakamkan di
Kota Gede dekat makam Raja. Adapun makamnya Mangir separo badan ada didalam
tembok sedang yang separo berada di luar. Ini menandakan bahwa meskipun ia
musuh Raja juga termasuk anak menantu.
Sepeninggal Ki Mangir
terserang pageblug, menurut kepercayaan yang menjadi sebabnya adalah pusaka
Kyai Upas.
Adapun yang kuat ketempatan
ialah putra Raja yang menjadi Bupati di Ngrowo (Tulungagung sekarang). Hal ini
sesuai dengan asal usulnya pusaka, ialah bahwa Baru Klinting pernah dibesarkan
di daerah rawa-rawa.
Semenjak itu pusaka Kyai Upas
menjadi pusaka keluarga yang turun- temurun bagi para Bupati yang menjabat di
Tulungagung.
8. CERITA KYAI UPAS II.
KYAI BARU – UPAS PENATASAN.
(Terjemahan bebas dari
sebagian isi buku karangan : Bp. Kartowibowo Blitar)
______________________________________
Konon, adalah roh yang
mempunyai suatu kelebihan, disebut Datuk Madjusi, dapat mengubah wujud, baik
wujud manusia maupun roh, sedang roh itu adalah roh jahat, yang gemar merasuki
manusia. Pada waktu Palembang memerangi Hentaok Madjusipun membantunya, tetapi
dapat ditangkap oleh Adjar Tunggul manik yang kemudian dilempar dan jatuh
ditempat yang jauh. Setelah peperangan selesai, ia merasuki salah seorang
Menteri Barupati yang bernama Paronsekar, sehingga ia lupa berniat hendak
memusuhi sultan. Tombak Kyai baru di curi lalu dibawa ke Japan atu Mojokerto
sekarang. Ia merasa bahwa diutus Sultan untuk memberikan pusaka tersebut kepada
Bupati yang berkuasa di situ. Danoeredjo, Bupati Japan, merasa sangat heran,
apa sebabnya maka Sultan menganugrahkan pusaka kraton kepadanya.
Namun pusaka itu diterimanya
juga, sementara ia menunggu titah dari keraton.
Hebohlah orang di Hentaok
karena Kyai Baru hilang dicuri orang. Setelah diselidiki dapat diketahui bahwa
ternyata paronsekarlah yang mencurinya dan lari dari Hentaok.
Jejaknya yang menunjukkan
bahwa ia menuju ke Japan, sudah diketemukan.
Japan terus digropyok,
sedangkan Ki Danoeredjo bersama Paronsekar ditangkap dan dibelenggu , terus
dibawa ke Hentaok. Setelah diperiksa, Paronsekar mengaku bahwa ia disuruh oleh
Bupati Danoeredjo untuk mencuri tombak pusaka Kiai Baru tersebut, tetapi Danoeredjo
tidak membenarkan pengakuan itu. Diterangkan olehnya bahwa yang benar, ia hanya
menerima saja. Danoeredjo dan Paronsekar untuk sementara ditahan, menunggu
sampai adanya saksi yang dapat membuka tabir yang sebenarnya. Apabila nanti
ternyata kedua orang itu merupakan suatu komplotan yang membahayakan, pasti
akan dipancung lehernya. Selama Perkara tersebut dalam pengusutan, diterimalah
oleh Sultan berita dari Bupati Daerah pesisir, bahwa “alun banteng” mengganas
dan sangat menggangu jalannya pelajaran di laut utara (Laut Jawa). Banyak
nahkoda yang tidak berani berlayar keluar masuk pelabuhan. Banyak pula
perahu-perahu kecil-kecil yang tenggelam karena mengganasnya gelombang itu.
Pelabuhan menjadi sunyi karena tingginya air pasang. “Alun Banteng” itu ialah gelombang
yang besar, panjang dan bergulung-gulung dihembus oleh angin. Air laut seperti
diaduk, banyak perahu yang terhempas dan terdampar ke pantai, tenggelam dan
terbalik. Geliat-geliat lingkaran-lingkaran “airnya satru”, yaitu air yang
mengalir ke kiri dan kanan melengkung, sedangkan yang dari depan menikam dan
mundepankan, dan mundurnya turun ke bawah.
Para Menteri pesisir itu
mohon bantuan agar mendapat penolak gelombang besar itu.
Barupati mendapat ilham,
bahwa yang dapat dipergunakan sebagi penolak bahaa itu adalah tombak pusaka
keraton.
Danoeredjo dibebaskan dan
perkaranya dibatalkan, bahkan ditunjuk untuk membawa Kyai Baru, dengan
diiringkan oleh para menteri, berjalan menyusuri pesisir laut utara. Pusaka
tersebut apabila diacungkan kearah laut, alun banteng menjadi ketakutan,
mengalir kembali ketengah. Begitulah berturut-turut mulai dari Rembang, Tuban,
Gresik, Surabaya sampai Japan. Alun banteng lari ke selatan dan tidak berani
lagi menginjak laut utara.
Maksud Sultan tombak itu
tidak usah dikembalikan lagi ke Mentaok. Oleh karena itu ketika Ki Djaka Baru
Klinting masih berwujud ular berasal dari rawa Bening– Campur, maka lebih baik
sekarang dikembalikan ke asalnya, sekaligus untuk mendekati laut selatan,
sambil menjaga dan menghalangi alun Banteng di laut selatan agar dikelak
kemudian tidak berani datang kelaut utara.
Daerah Ngrowo akan dijadikan
daerah ketemenggungan baru, oleh karena daratan di sana hanya sempit saja, maka
dimintakan sumbangan tanah yang tidak tergenang air dari daerah sekitarnya.
Dari daerah Blitar memberikan
daerah Ngunut, Pacitan memberikan daerah pesisir selatan, sedangkan Ponorogo
memberikan gunung , yaitu tanah Trenggalek, Ngrajun, Panggul, Prigi, dan
Jombok.
Demikianlah hingga sampai
sekarang ada nama TULUNGAGUNG, Ibu Kota Ngrowo sekarang. Disitulah Kyai Upas (
Baru ) berada dan sampai sekarang menjadi pusaka kota itu.
Di Tulungagung Kyai Baru itu
disebut Kyai Upas, lengkapnya Kyai Baru Upas penatasan. Diceritakan orang bahwa
sukmanya sering mengembara atau menjelma menjadi seekor ular. Sukmanya yang
pernah melakukan tapa atau tidur di bawah pepohonan seperti pohon beringin di
dalam kota, mengatakan bahwa pernah mengetahui ada seekor ular di atas pohon
tadi dalam beberapa hari, tetapi hanya dapat dilihat pada waktu malam saja
sedangkan siang harinya lenyap tak nampak sesuatupun. Para pembesar yang
mewarisi tombak itu harus seorang yang rendah hati, suci, sabar, dan
menjalankan perbuatan-perbuatan baik. Apabila dikuasai oleh seorang yang
angkara murka, sombong dan bengis niscaya Kyai Upas akan mendatangkan bahaya
baginya, umpamanya : selalu celaka, tidak dapat tahan lama nenegang suatu
jabatan yang tinggi, atau dapat juga terganggu ingatannya. Disamping itu dapat pula
mendatangkan bencana bagi daerah Tulungagung misalnya banjir atau bencana yang
lain.
Tiap tahun Kyai Upas
dipermandikan dengan upacara yang dilakukan oleh para ahli waris pendiri kota
Ngrowo. Upacara pencucian ini, dilakukan tepat pada tanggal 10 Muharam. Setelah
upacara itu selesai, lalu diadakan resepsi dengan dipertujukkan pagelaran
wayang kulit.
Malam itu juga para pejabat
se Kabupaten Tulungagung berkumpul ditempat Kyai Upas itu berada, untuk
mengadakan keselamatan.
Pernah terjadi di Tulungagung
ada seseorang Bupati yang bukan keturunan dari ahli waris Tulungagung baik dari
keluarga pria maupun puteri, sebagai pembesar yang tersisip. Kyai Upas tidak
berkenan apabila Bupati itu masuk ke dalam kamar persemayamannya, setiap kali
ia membuka pintu kamar itu, terlihat olehnya ada seekor ular yang mengangakan
mulutnya seolah-olah siap untuk menyambar. Tempat tidur Bupati itu hanya disisi
rumah saja (gadri) dan akhirnya tidak lama menjabat Bupati.
Kamar Kyai Upas terletak di
sudut rumah sebelah barat laut. Pada suatu ketika kamar itu akan diperbaiki,
lantainya diganti, lebih dahulu lantai itu harus digali, Kyai Upas sudah
dipindahkan ke lain tempat. Banyak orang yang tiap-tiap kali mulai menggali,
pinsan, jatuh dan sakit. Sampai-sampai tidak sekalipun berani menggali lantai
itu.
Meskipun upah borongan
menggali itu dinaikkan sampai seratus lima puluh, baru ada orang yang berani
mengerjakan pekerjaan itu, orang itu bernama pak Bero.
Sebelumnya ia berpuasa, tidak
tidur mempersembahkan sesaji. Mohon kepada Kyai Upas, agar diperkenankan
menggali tempat itu. Permohonan ini diperkenankan oleh Kyai Upas. Berhasilah
Pak Bero memperoleh sebesar seratus lima puluh rupiah.
Pusaka Tulungagung, tombak
Kyai Upas, sangat terkenal sering berwujud seekor ular pada waktu malam, yaitu
apabila daerah Tulungagung merasa susah, misalnya bayak ada orang mati, banjir
atau tidak aman. Menjelmanya Kyai Upas dalam wujud ular itu sebenarnya
memberikan peringatan kepada rakyat Tulungagung agar selalu ingat kepada Tuhan.
Kyai Upas itu dipelihara oleh
para pembesar turun-temurun yang menjabat jabatan Bupati, pembesar kota
Tulungagung. Keluarga disitu sangat dikenal olehnya. Oleh karena itu pernah ada
suatu siang salah seorang pembesr melihat seekor ular besar dengan jelas di
halaman. Ular tersebut oleh beliau dipasang jerat dan akhirnya dapat dimasukkan
ke dalam sebuah karung terus diikat erat-erat digantung dan ditungguinya.
Nampak juga seloah-olah karung itu berisikan sesuatu, tetapi lama kelamaan
karung itu kempislah.
Setelah diturunkan dan diperiksa
ternyata ikatannya masih baik, tetapi setelah karung itu dibuka ternyata
kosong. Jelaslah, bahwa ular tadi bukan binatang yang wajar, tetapi kejadian
dari Kyai Upas.
Ia bermaksud untuk memberi
firasat bahwa ada berita penting bagi Bupati di situ. Firasat itu adalah
firasat yang baik, sebab setelah terjadi kejadian itu ada seorang familinya
yang dapat naik pangkat tinggi.
Demikianlah cerita orang.
9. CERITERA KYAI UPAS III
CERITERA DI WAJAK
Tentang cerita asal-usul Kyai
Upas di Wajak itu ada cerita yang sangat berlainan dengan cerita diatas. Cerita
inipun juga menyinggung tentang Mentaok.
Pada waktu itu calon Sultan
Mataram masih bernama Kyai Ageng Senopati. Pada suatu hari ia bertamu ke Wajak,
disitu ia disuguh sirih oleh Bupati daerah itu.
Wajak adalah suatu daerah
yang terletak disebelah selatan Tulungagung, tetapi Tulungagung belum menjadi
suatu negeri, masih berwujud hutan kayu tahun. Daerah disebelah timur
Tranggalih juga termasuk wilayah Wajak.
Senopati langsung menuju
Wajak dengan mengendarai abdinya, seekor kuda yang bernama Djurutaman, ialah
seekor kuda jilmaan jin, yang dulu dalam suatu peperangan dapat dialahkan oleh
Senopati. Kuda itu diceritakan dapat terbang, dan berkecepatan seperti angin.
Pertemuan di Wajak itu disuguhi.dengan pagelaran wayang klitik. Senopati merasa
payah, tidur dengan bersandar pada tiang gung. Dalam tidurnya itu ia bermimpi
bertemu dengan puteri Bupati itu. Pada waktu itu juga kuda jelmaan itu pulang
ke Mataram menjilma sebagai manusia yang menyerupai Senopati. Ia Bermaksud
hendak menemui istri senopati di dalam rumah di Mataram.
Senopati yang tidur bersandar
pada tiang gung itu tidak mengetahui bahwa kudanya menghianati.
Tengah malam Sunan Kalijogo
datang membangunkan dan melemparkannya ke Mentaok. Jurutaman yang menjilma
sebagai tunagannya itu diketahui oleh Senopati dan ditusuk matanya yang sebelah
kanan dengan cis sehingga menjadi buta sebelah.
Puteri Wajak yang muncul
dalam impian tadi beberapa waktu kemudian hamil, padahal ia belum bersuami.
Supaya tidak mendapat malu puteri itu harus meninggalkan Wajak menuju ke suatu
hutan perawan di daerah Wahung, disitu dia melahirkan bayinya dibuang ketempat
yang sunyi. Waktu itu ada seekor ular yang keluar dan terus mengejar bayi yang
dibuang itu untuk mencaploknya. Tetapi tidak ditelan, melainkan dikulum saja.
Ibu si bayi itu menjadi takut dan malu, terus pergi meniggalkan Wahung Bupati
Wajak mengetahui bahwa putrinya pergi. Ia memerintahkan punggawanya untuk
mencari puterinya itu. Adapun punggawa yang diperintahkan itu bernama Rijobodo.
Rijobodo terus berangkat
mencari, keluar hutan masuk hutan, namun ia tak dapat menemukannya..
Pada suatu ketika ia mendapat
ilham, yaitu ia disuruh mencari bekas tempat bayi tadi dibuang. Setelah sampai
ke tempat itu diketemukannya sebuah tombak dan ular yang menyaplok bayi
tersebut. Lama kelamaan yang dicarinya itu dapat diketemukan, yaitu didaerah
Banyuwangi. Sang putri beserta tombak itu terus dibawa pulang. Sesampainya di
Wajak diurus, apa sebabnya sampai lolos dari Kabupaten.
Sang Bupati menuduh bahwa
Senopati telah membuat aib kepada putrinya. Oleh sebab itu disayembarakan,
bahwa barang siapa dapat membunuh Senopati di Mentaok, akan dijadikan pengganti
jabatan Tumenggung di Wajak.
Para Menteri menyanggupi.
Mereka disuruh memerangi Mentaok dan kepada pemukanya dibawakan tombak tersebut
sebagai alat senjatanya. Mereka itupun berangkatlah .
Sesampainya di Mentaok
dijumpainya Senopati dan ditusuknya dengan tombak itu menjadi bengkok. Setelah
diketahui oleh Senopati akan tombak itu berkatalah :
“Tombakmu itu adalah
penjilmaan dari putraku, mana mungkin ia berani kepadaku? Oleh karena itu ia
menjadi bengkok.” Sudahlah sekarang ini lebih baik kamu semua pulang saja.
Kembalikanlah tombak ini kepada paman Bupati. Tombak ini adalah sebuah senjata
yang ampuh, kelak akan menjadi pusaka bagi daerah “ Ngrowo”.
Para Menteri yang memerangi
Senopati itu terus pulang ke Wajak dengan tangan hampa. Sesampainya di Wajak
dikatakan pesan-pesan Senopati itu kepada Bupati.
Sang Bupati tidak mau
menerima tombak itu kembali.
Disuruhnya orang untuk
mengembalikan ke asalnya, ke Wahung.
Tumbak itu dikembalikan, dan
lenyap dari Wahung.
Kemudian hari banyak orang
yang mengetahui bahwa tombak tadi terdapat tegak menancap di bumi daerah
Wahung, dengan dikerumuni oleh tombak-tombak yang lain, yang banyak jumlahnya.
Setelah didengar oleh Bupati Wajak akan berita itu, lalu disayembarakan, bagi
siapa saja yang dapat mengambil Kyai Upas, dialah calon pembesar ditempat itu.
Kemudian hari ternyata seorang yang dapat mengambilnya.
Orang itu bernama Ronggo
Katepan Ngabehi. Nenurut cerita orang, Ronggo tersebut tidak berpusar dan
sangat sakti.
10. CERITERA KYAI UPAS IV
PUSAKA KYAI UPAS
Kyai
upas adalah nama sebuah pusaka berbentuk tombak, dengan landeannya sepanjang
tidak kurang dari 5 meter. Pusaka ini berasal dari Mataram yang dibawa oleh
R.M. Tumenggung Pringgodiningrat putra dari pangeran Notokoesoemo.diPekalongan
yang menjadi menantu Sultan Jogyakarta ke II (Hamengku Buwono II yang bertahta
pada tahun 1792-1828), ialah ketika R.T Pringgodiningrat diangkat menjadi
Bupati Ngrowo (Tulungagung sekarang). Disamping pusaka itu ada kelengkapannya
yang dalam istilah Jawa disebut “pangiring” berwujud 1 pragi gamelan pelok
slendro yang diberi nama “Kyai Jinggo Pengasih” beserta 1 kotak wayang purwo
lengkap dengan kelirnya.
Pusaka dan pengiring ini
tidak boleh dipisahkan dan sekarang tersimpan dibekas pensiunan Bupati
Pringgokusumo di desa Kepatihan Tulungagung. Inilah yang oleh masyarakat
Tulungagung dianggap sebagai pusaka daerah.
Sejak dari R.M Tumenggung
Pringgodiningrat pusaka tadi dipelihara baik– baik, turun temurun kepada R.M.
Djayaningrat (Bupati Ngrwo V) lalu kepada R.M Somodiningrat (Bupati ke VI)
kemudian kepada R.T. Gondokoesoemo (Bupati ke VIII) dan selanjutnya diwariskan
kepada adiknya ialah R.M Tumenggung Pringgokoesoemo (Bupati Ngrowo yang ke X).
Setelah R.M.T Pringgokoesoemo
pensiun dalam tahun 1895 dan wafat pada tahun 1899, maka pemeliharaan pusaka
diteruskan oleh Raden Aju Jandanya, sedang hak temurun pada puteranya yang
bernama R.M Moenoto Notokoesoemo Komisaris Polisi di Surabaya. Sejak tahun 1907
pemeliharaan pusaka berada di tangan menantu dari R.M.T Pringgokoesoemo yaitu
R.P.A Sosrodiningrat Bupati Tulunngagung yang ke XIII, dan sejak jaman Jepang
diteruskan oleh saudaranya yang bernama R.A Hadikoesoemo. Setelah R.A
Hadikoesoemo wafat tugas ini diambil alih kembali oleh R.M. Notokoesoemo.
PERANAN KYAI UPAS SEBAGAI
PENOLAK BANJIR.
Baik dari bupati-bupati lama,
dari keluarga Pringgokoesoemo maupun dari masyarakat Tulungagung sendiri timbul
suatu kepercayaan, bahwa pusaka kyai Upas adalah pusaka bertuah penolak banjir
dan penjaga ketentraman bagi daerah kabupaten Tulungagung. Tidak sedikit cerita
– cerita mengenai hal ini diantaranya :
I. Waktu R.M. Moesono masih
kanak-kanak dan berkumpul serumah dengan eyangnya putri Pringgokoesoemo, pernah
diberi keterangan, bahwa sebelum tahun 1895 Tulungagung pernah mengalami banjir
besar sampai air masuk ke alun-alun dan rumah Kabupaten. Pada waktu itu pusaka
Kyai Upas tidak berada di Tulungagung melainkan dibawa oleh R. Pringgokoesoemo
ketika masih menjabat Wedono di Pare (Kediri). Masyarakat mempunyai kepercayaan
bilamana pusaka Kyai Upas dibawa kembali ke Tulungagung, air bah akan hilang.
Pendapat itu ternyata benar, dengan pembuktian ketika R. Pringgokoesoemo Wedono
Pare diangkat oleh Pemerintah Belanda menjadi Bupati Tulungagung dan pusaka
Kyai Upas ikut di boyong maka ternyata banjir Tulungagung sangat berkurang.
Pada tahun 1942 Kabupaten
Tulungagung tertimpa bahaya banjir yang luar biasa sampai terciptakan lagu “Oh
nasib Tulungagung”.
Pusaka Kyai Upas pada waktu
itu dijaga tidak berada di Tulungagung karena dibawa ke Surabaya untuk
pengayoman dengan tujuan bilamana tentara sampai masuk ke kota Surabaya
janganlah sampai timbul pertumpahan darah dan keadaanya lekas menjadi aman.
Timbullah suatu rabaan dari
P.A Sosrodiningrat banjirnya Tulungagung dikarenakan pusaka daerah selang tidak
berada di tempatnya.
Dengan segera beliau pergi ke
Surabaya untuk mengambilnya.
Pusaka itu ditaruhnya didalam
mobil tetapi mengingat penjangnya landean terpaksa sampai mengorbankan memecah
kaca mobil bagian muka dan belakang.
Setelah pusaka kembali ke
Tulungagung, maka air menjadi surut.
KYAI UPAS PADA JAMAN PERANG
KEMERDEKAAN
Pada tahun 1946 Bapak
Gubernur Soerjo pernah menyerukan kepada rakyat seluruh Jawa Timur agar semua
pusaka-pusaka daerah yang ampuh milik rakyat dikeluarkan dan dipergunakan untuk
membendung kemajuan gerak tentara kolonial Belanda yang ingin menjajah kembali.
Pada Waktu itu datanglah
utusan Bung Tomo yang mengaku bernama Nangkulo beserta 2 orang temannya di
Tulungagung dengan naik mobil yang kemudian menghadap P.A Sosrodhiningrat
Bupati Tulungagung, mohon diizikan membawa Kyai Upas ke garis depan.
Pusaka diserahkan dan terus
dibawa ke Somobito. Dalam kenyataan musuh tidak terus maju, tetapi berhenti di
desa Curahmalang. Kyai Upas berada di garis depan selama ± 3 bulan dan
diantarkan kembali ke Tulungagung oleh R. Moesono Bupati Surabaya dengan
didampingi oleh R.M. Moenoto Notokoesoemo Komisaris Polisi Kota Surabaya
(pewaris pusaka) dengan naik mobil dinas yang disupiri oleh orang bernama
Badjuri (juga sekarang sudah pensiun dan bertempat tinggal di Wonokromo
Surabaya).
Ketika Kyai Upas dibawa ke
garis depan didampingi pula oleh 2 buah pusaka berupa tombak berasal dari
Pringgopuran desa Kutoanyar tetapi 2 puasaka ini tidak kembali (hilang).[2]
PEMELIHARAAN PUSAKA SECARA
TRADISIONAL
Pusaka Kyai Upas telah
dipelihara dengan secara tradisional oleh keturunan Bupati Ngrowo. Tugas
pemeliharaan ini termasuk suatu kewajiban.
Adapun yang menerima
penyerahan tugas paling akhir berdasarkan keputusan bersama dari keluarga
Bupati Pringgokoesoemo ialah R.M Moenoto Notokoesoemo. Tugas ini juga
dilaksanakan dengan sebaik-baiknya.
Ketika P.A Sosrodiningrat
masih menjabat Bupati Tulungagung maka upacara siraman pada tiap tahunnya
dilaksanakan dengan sangat teliti menurut tradisinya.
Selain upacara peralatan
lengkap, pada malam harinya para sesepuh, pejabat-pejabat Pamong Praja dan Dinas
Jawatan bersama istrinya didatangkan untuk melihat pertunjukan wayang purwo
semalam suntuk. Biaya penyelenggaraan siraman dipikul bersama oleh keluarga R.M
Moenoto Notokoesoemo. Setelah R.M Moenoto Notokoesoemo meninggal dunia, maka
penyelenggaraan siraman diadakan secara sederhana oleh janda almarhum, yaitu
Ibu Moenoto Notokoesoemo.
Diantara Bupati-bupati
sesudah Pangeran Sosrodiningrat maka Bupati K.D.H R. Soenardi menaruh perhatian
besar terhadap upacara siraman ini. Beliau telah menghadiri upacara bersama-sama
stafnya dari anggota D.P.R.D.G.R
Pernah disampaikan sumbangan
uang untuk kepentingan selamatan juga selubung pusaka sebagai ganti selubung
yang lama.
PERLENGKAPAN WAKTU SIRAMAN
Selain
siraman yang diselenggarakan pada tiap-tiap tahun, maka sebagai pemeliharaan
pada tiap-tiap hari Kamis siang diadakan sajen berupa :
Ayam panggang hitam mulus dua ekor.
Satu ambengan apem berisi 28 biji.
Dua buceng nasi gurih
Gantenan lengkap (untuk makan sirih)
2 lirang pisang raja.
Bunga melati yang dironce.
Clupak minyak jarak sebagai lampunya.
Ayam panggang hitam mulus dua ekor.
Satu ambengan apem berisi 28 biji.
Dua buceng nasi gurih
Gantenan lengkap (untuk makan sirih)
2 lirang pisang raja.
Bunga melati yang dironce.
Clupak minyak jarak sebagai lampunya.
Barang-barang tersebut harus
disajikan di dalam kamar pusaka oleh embannya. Pada waktu Kyai emban menyajikan
sajen itu, lampu clupak yang berisi minyak jarak harus dinyalakan disertai
membakar kemenyan (dupa).
Pada sore hari sajen-sajen
tadi diundurkan dari kamar pusaka untuk dikendurikan.
Disamping
itu pada tiap-tiap tahun bertepatan pada hari Jum’at upacara siraman ini harus
disediakan sajen-sajen sebagai berikut:
Panggang ayam tulak, ayam walik, ayam putih mulus, ayam hitam mulus, ayam lurik sekul dan lain sebagainya (7 macam)
Bermacam-macam polo kependem (Knolgewassen) antar lain kacang brul, ubi-ubian, kentang hitam, kentang putih, ketela rambat, ketela pohon dan lain sebagainya.
Jenang Sengkolo, bubur suran lengkap dengan lauk pauknya sebagaimana biasanya untuk selamatan suran.
Pisang Raja Ayu.
Air dari 7 sumber (Tuk) dan air laut yang dipergunakan untuk siraman pertama.
Tebu dan janur.
Segala macam ikan sungai (ikan tawar).
Segala macam jajanan pasar.
Daging lembu 27 macam (27 potong).
Panggang ayam tulak, ayam walik, ayam putih mulus, ayam hitam mulus, ayam lurik sekul dan lain sebagainya (7 macam)
Bermacam-macam polo kependem (Knolgewassen) antar lain kacang brul, ubi-ubian, kentang hitam, kentang putih, ketela rambat, ketela pohon dan lain sebagainya.
Jenang Sengkolo, bubur suran lengkap dengan lauk pauknya sebagaimana biasanya untuk selamatan suran.
Pisang Raja Ayu.
Air dari 7 sumber (Tuk) dan air laut yang dipergunakan untuk siraman pertama.
Tebu dan janur.
Segala macam ikan sungai (ikan tawar).
Segala macam jajanan pasar.
Daging lembu 27 macam (27 potong).
Pada hari kamis sore
menjelang siraman banyak ibu-ibu yang datang membantu masak-masak dan
menyiapkan sajen untuk dikendurikan pada hari Jum’at pagi.
Yang memasak jenang dan bubur
suran menurut tradisi harus dipilihkan seorang Ibu yang sudah lanjut usianya
(bahasa jawa Luas sari)
Pada hari Jum’at pagi
biasanya telah banyak yang datang banjir pada upacara siraman itu, terutama
para pensiunan. Sekitar jam 9.30 pagi, setelah pusaka tersebut dikeluarkan dari
kamar pusaka, maka diiringi dengan gamelan monggang yang terus menerus sampai
akhir siraman dan sampui pusaka tersebut dikembalikan ke kamar pusaka.
Disamping itu diadakan
pembacaan tahlil oleh paling sedikit 20 orang santri. Selesai siraman diadakan
kenduri.
Yang mendapat tugas untuk
menyirami pusaka tersebut ialah Kyai Emban yang turun temurun itu.
Sebagai penutup dalam
rangkaian upacara ini pada malam harinya diadakan pertunjukan wayang kulit
semalam suntuk.
Demikianlah sejarah Kyai
Upas, Pusaka tradisional Kabupaten Tulungagung.
Sumber : http://budparpora.wordpress.com/2009/09/26/bagian-kedua-lembar-iii-babad-tulungagung/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar