Tulisan Berjalan

WELCOME TO BLOG ERVINA SEPTYANINGTYAS

Selasa, 19 Agustus 2014

Sepenggal Babad Tulungagung

Siraman Tombak Kyai Upas


Pada akhir Pemerintahan Mojopahit banyak keluarga raja yang membuang gelarnya sebagai bangsawan dan melarikan diri ke Bali, Jawa Tengah, Jawa Barat.
Salah seorang keluarga raja bernama WONOBOJO melarikan diri ke Jawa Tengah dan babad hutan disekitar wilayah Mataram sekat rawa Pening Ambarawa. Wonobojo mempunyai anak yang bernama MANGIR.
Setelah Wonobojo dapat membabat hutan maka ia bergelar Ki Wonobojo, dan dukuh tersebut dinamakan dukuh MANGIR sesuai dengan nama puteranya.
Pada suatu hari Ki Wonobojo mengadakan selamatan BERSIH DESA.
Banyak pemuda pemudi yang membantu didapur. Diantara orang-orang yang berada di dapur terdapat seorang pemudi yang lupa membawa pisau, dan terpaksa meminjam pisau dari Ki Wonobojo. Ki Wonobojo bersedia meminjaminya, tetapi karena pisau yang dipinjamkan itu pisau pusaka, maka ada pantangannya, ialah jangan sekali-2 ditaruh dipangkuan.
Tetapi sang pemudi itu lupa. Pada waktu ia beristirahat, pisau itu dipangkunya, dan seketika itu musnahlah pusaka tadi. Dengan hilangnya pisau tersebut sang pemudi hamil.
Ia menangis dan menceritakan persoalan ini kepada Ki Wonobojo.
Ki Wonobojo sangat prihatin, dan pergi bertanya di puncak gunung Merapi.
Ketika telah datang saatnya melahirkan, maka sang ibu yang hamil itu bukannya melahirkan bayi, tetapi berupa Ular Naga. Ular itu diberi nama BARU KLINTING. Baru Klinting dibesarkan di rawa pening. Setelah menjadi dewasa, maka ia menanyakan siapa ayahnya, dan dijawab oleh sang ibu bahwa ayahnya ialah Ki Wonobojo yang pada waktu itu sedang bertapa di puncak gunung Merapi.
Baru Klinting menyusul ayahnya, pergi ke gunung Merapi.ki Wonobojo mau mengakui sebagai anaknya, asalkan Baru Klinting dapat melingkari puncak Merapi.
Baru Klinting segera mencoba melingkarinya, tetapi ketika kurang sedikit ia menjulurkan lidah untuk menyambung antara kepala dan ekornya. Ki Wonobojo setelah mengetahui hal itu segera memotong lidah Baruklinting terebut, yang mana setelah putus lalu berubah menjadi sebilah tombak.
Baru Klinting melarikan diri ke selatan, dan setelah mengetahui bahwa Ki Wonobojo mengejarnya, ia lalu menyeburkan diri ke laut yang kemudian berubah menjadi sebatang kayu. Kayu tersebut diambil oleh Ki Wonobojo dan dipergunakan sebagai LANDEAN dari pada tombaknya. Tombak tersebut dinamakan KYAI UPAS, dan ketika Ki Wonobojo meninggal dunia, pusaka itu dimiliki oleh puteranya yang bernama Mangir.
Setelah ia menggantikan kedudukan ayahnya lalu bergelar Ki Adjar Mangir.
Ki Adjar Mangir menjadi seorang yang kebal karena pusakanya. Desanya menjadi ramai dan banyak pendatang yang bertempat tinggal di situ.
Ki Adjar Mangir akhirnya tak mau tunduk kepada Mataram, dan ingin berdiri sendiri. Ia melepaskan diri dari ikatan kekuasaan raja.
Setelah sang raja mengetahui tindakan Ki Adjar, maka lalu diadakan musyawrah dengan keluarga Kraton, bagaimana caranya agar dapat menundukan Ki Adjar Mangir kembali. Kalau diadakan kekerasan tak mungkin karena Ki Adjar memiliki senjata ampuh sebagai pusaka kepercayaannya.
Bilamana Mataram menang, tidak akan harum namanya tetapi andaikata kalah tentu sangat memalukan. Akhirnya diperoleh suatu cara yang dapat memancing ikan tetapi tidak mengeruhkan airnya. Dikirimkannyalah rombongan telik sandi yang berpura-pura mbarang jantur untuk menyelidiki kelemahan Ki Adjar Mangir. Putra putri dari sang Raja telah dikorbankan untuk menjadi waranggono dan masuk ke desa Mangir. Jebagan sang Raja mengenai sasarannya.
Ketika Ki Mangir mengetahui ada orang mbarang jantur, dan waranggononya kelihatan cantik, maka ia terpikatlah.
Setelah menangkapnya, maka tertariklah ia akan kecantikannya sang laku sandi, sehingga kemudian terpaksa ditanyakan untuk dijadian istrinya. Terjadilah perkawinan antara Ki Mangir dan putri Raja.
Setelah lama hidup bersuami istri, maka pada suatu hari sang Putri menceritakan bahwa sebenarnya ia berasal dari Mataram, termasuk keluarga bahkan putra putri dari sang Radja.
Ia mengatakan meskipun radja Mataram itu musuh daripada Ki Mangir, namun mengingat bahwa sekarang ia menjadi mertuanya, malah tidak sebaiknya sebagai putra menantu mau menghadap untuk menghaturkan sembah bakti.
Bilamana Ki Adjar Mangir dianggap berdosa dan bersalah, maka sang Putri berserdia memohonkan maaf kepada sang Raja sebagai ayahnya.
Dari desakan istrinya akhirnya Ki Adjar Mangir meluluskan permohonan sang Putri dan bersama-sama menghadap Raja. Pusaka tombak juga dibawanya. Tetapi karena tujuannya untuk menghaturkan sembah bakti, maka pusaka tersebut tidak dibawanya masuk kraton. Alkisah ketika Ki Mangir sedang menghaturkan sungkem kepada Raja, maka kepalanya dipegang oleh bapak mertuanya dan dibenturkan pada tempat duduknya yang dibuat dari batu pualam, sehingga Ki Adjar Mangir meninggal pada saat itu juga. Batu ntuk membenturkan kepala Ki Adjar itu menurut ceritera masih ada, ialah di Kota Gede dan disebut WATU GATENG, yang mana sekarang menjadi objek touris.
Ki Adjar Mngir dimakamkan di Kota Gede dekat makam Raja. Adapun makamnya Mangir separo badan ada didalam tembok sedang yang separo berada di luar. Ini menandakan bahwa meskipun ia musuh Raja juga termasuk anak menantu.
Sepeninggal Ki Mangir terserang pageblug, menurut kepercayaan yang menjadi sebabnya adalah pusaka Kyai Upas.
Adapun yang kuat ketempatan ialah putra Raja yang menjadi Bupati di Ngrowo (Tulungagung sekarang). Hal ini sesuai dengan asal usulnya pusaka, ialah bahwa Baru Klinting pernah dibesarkan di daerah rawa-rawa.
Semenjak itu pusaka Kyai Upas menjadi pusaka keluarga yang turun- temurun bagi para Bupati yang menjabat di Tulungagung.
8. CERITA KYAI UPAS II.
KYAI BARU – UPAS PENATASAN.
(Terjemahan bebas dari sebagian isi buku karangan : Bp. Kartowibowo Blitar)
______________________________________
Konon, adalah roh yang mempunyai suatu kelebihan, disebut Datuk Madjusi, dapat mengubah wujud, baik wujud manusia maupun roh, sedang roh itu adalah roh jahat, yang gemar merasuki manusia. Pada waktu Palembang memerangi Hentaok Madjusipun membantunya, tetapi dapat ditangkap oleh Adjar Tunggul manik yang kemudian dilempar dan jatuh ditempat yang jauh. Setelah peperangan selesai, ia merasuki salah seorang Menteri Barupati yang bernama Paronsekar, sehingga ia lupa berniat hendak memusuhi sultan. Tombak Kyai baru di curi lalu dibawa ke Japan atu Mojokerto sekarang. Ia merasa bahwa diutus Sultan untuk memberikan pusaka tersebut kepada Bupati yang berkuasa di situ. Danoeredjo, Bupati Japan, merasa sangat heran, apa sebabnya maka Sultan menganugrahkan pusaka kraton kepadanya.
Namun pusaka itu diterimanya juga, sementara ia menunggu titah dari keraton.
Hebohlah orang di Hentaok karena Kyai Baru hilang dicuri orang. Setelah diselidiki dapat diketahui bahwa ternyata paronsekarlah yang mencurinya dan lari dari Hentaok.
Jejaknya yang menunjukkan bahwa ia menuju ke Japan, sudah diketemukan.
Japan terus digropyok, sedangkan Ki Danoeredjo bersama Paronsekar ditangkap dan dibelenggu , terus dibawa ke Hentaok. Setelah diperiksa, Paronsekar mengaku bahwa ia disuruh oleh Bupati Danoeredjo untuk mencuri tombak pusaka Kiai Baru tersebut, tetapi Danoeredjo tidak membenarkan pengakuan itu. Diterangkan olehnya bahwa yang benar, ia hanya menerima saja. Danoeredjo dan Paronsekar untuk sementara ditahan, menunggu sampai adanya saksi yang dapat membuka tabir yang sebenarnya. Apabila nanti ternyata kedua orang itu merupakan suatu komplotan yang membahayakan, pasti akan dipancung lehernya. Selama Perkara tersebut dalam pengusutan, diterimalah oleh Sultan berita dari Bupati Daerah pesisir, bahwa “alun banteng” mengganas dan sangat menggangu jalannya pelajaran di laut utara (Laut Jawa). Banyak nahkoda yang tidak berani berlayar keluar masuk pelabuhan. Banyak pula perahu-perahu kecil-kecil yang tenggelam karena mengganasnya gelombang itu. Pelabuhan menjadi sunyi karena tingginya air pasang. “Alun Banteng” itu ialah gelombang yang besar, panjang dan bergulung-gulung dihembus oleh angin. Air laut seperti diaduk, banyak perahu yang terhempas dan terdampar ke pantai, tenggelam dan terbalik. Geliat-geliat lingkaran-lingkaran “airnya satru”, yaitu air yang mengalir ke kiri dan kanan melengkung, sedangkan yang dari depan menikam dan mundepankan, dan mundurnya turun ke bawah.
Para Menteri pesisir itu mohon bantuan agar mendapat penolak gelombang besar itu.
Barupati mendapat ilham, bahwa yang dapat dipergunakan sebagi penolak bahaa itu adalah tombak pusaka keraton.
Danoeredjo dibebaskan dan perkaranya dibatalkan, bahkan ditunjuk untuk membawa Kyai Baru, dengan diiringkan oleh para menteri, berjalan menyusuri pesisir laut utara. Pusaka tersebut apabila diacungkan kearah laut, alun banteng menjadi ketakutan, mengalir kembali ketengah. Begitulah berturut-turut mulai dari Rembang, Tuban, Gresik, Surabaya sampai Japan. Alun banteng lari ke selatan dan tidak berani lagi menginjak laut utara.
Maksud Sultan tombak itu tidak usah dikembalikan lagi ke Mentaok. Oleh karena itu ketika Ki Djaka Baru Klinting masih berwujud ular berasal dari rawa Bening– Campur, maka lebih baik sekarang dikembalikan ke asalnya, sekaligus untuk mendekati laut selatan, sambil menjaga dan menghalangi alun Banteng di laut selatan agar dikelak kemudian tidak berani datang kelaut utara.
Daerah Ngrowo akan dijadikan daerah ketemenggungan baru, oleh karena daratan di sana hanya sempit saja, maka dimintakan sumbangan tanah yang tidak tergenang air dari daerah sekitarnya.
Dari daerah Blitar memberikan daerah Ngunut, Pacitan memberikan daerah pesisir selatan, sedangkan Ponorogo memberikan gunung , yaitu tanah Trenggalek, Ngrajun, Panggul, Prigi, dan Jombok.
Demikianlah hingga sampai sekarang ada nama TULUNGAGUNG, Ibu Kota Ngrowo sekarang. Disitulah Kyai Upas ( Baru ) berada dan sampai sekarang menjadi pusaka kota itu.
Di Tulungagung Kyai Baru itu disebut Kyai Upas, lengkapnya Kyai Baru Upas penatasan. Diceritakan orang bahwa sukmanya sering mengembara atau menjelma menjadi seekor ular. Sukmanya yang pernah melakukan tapa atau tidur di bawah pepohonan seperti pohon beringin di dalam kota, mengatakan bahwa pernah mengetahui ada seekor ular di atas pohon tadi dalam beberapa hari, tetapi hanya dapat dilihat pada waktu malam saja sedangkan siang harinya lenyap tak nampak sesuatupun. Para pembesar yang mewarisi tombak itu harus seorang yang rendah hati, suci, sabar, dan menjalankan perbuatan-perbuatan baik. Apabila dikuasai oleh seorang yang angkara murka, sombong dan bengis niscaya Kyai Upas akan mendatangkan bahaya baginya, umpamanya : selalu celaka, tidak dapat tahan lama nenegang suatu jabatan yang tinggi, atau dapat juga terganggu ingatannya. Disamping itu dapat pula mendatangkan bencana bagi daerah Tulungagung misalnya banjir atau bencana yang lain.
Tiap tahun Kyai Upas dipermandikan dengan upacara yang dilakukan oleh para ahli waris pendiri kota Ngrowo. Upacara pencucian ini, dilakukan tepat pada tanggal 10 Muharam. Setelah upacara itu selesai, lalu diadakan resepsi dengan dipertujukkan pagelaran wayang kulit.
Malam itu juga para pejabat se Kabupaten Tulungagung berkumpul ditempat Kyai Upas itu berada, untuk mengadakan keselamatan.
Pernah terjadi di Tulungagung ada seseorang Bupati yang bukan keturunan dari ahli waris Tulungagung baik dari keluarga pria maupun puteri, sebagai pembesar yang tersisip. Kyai Upas tidak berkenan apabila Bupati itu masuk ke dalam kamar persemayamannya, setiap kali ia membuka pintu kamar itu, terlihat olehnya ada seekor ular yang mengangakan mulutnya seolah-olah siap untuk menyambar. Tempat tidur Bupati itu hanya disisi rumah saja (gadri) dan akhirnya tidak lama menjabat Bupati.
Kamar Kyai Upas terletak di sudut rumah sebelah barat laut. Pada suatu ketika kamar itu akan diperbaiki, lantainya diganti, lebih dahulu lantai itu harus digali, Kyai Upas sudah dipindahkan ke lain tempat. Banyak orang yang tiap-tiap kali mulai menggali, pinsan, jatuh dan sakit. Sampai-sampai tidak sekalipun berani menggali lantai itu.
Meskipun upah borongan menggali itu dinaikkan sampai seratus lima puluh, baru ada orang yang berani mengerjakan pekerjaan itu, orang itu bernama pak Bero.
Sebelumnya ia berpuasa, tidak tidur mempersembahkan sesaji. Mohon kepada Kyai Upas, agar diperkenankan menggali tempat itu. Permohonan ini diperkenankan oleh Kyai Upas. Berhasilah Pak Bero memperoleh sebesar seratus lima puluh rupiah.
Pusaka Tulungagung, tombak Kyai Upas, sangat terkenal sering berwujud seekor ular pada waktu malam, yaitu apabila daerah Tulungagung merasa susah, misalnya bayak ada orang mati, banjir atau tidak aman. Menjelmanya Kyai Upas dalam wujud ular itu sebenarnya memberikan peringatan kepada rakyat Tulungagung agar selalu ingat kepada Tuhan.
Kyai Upas itu dipelihara oleh para pembesar turun-temurun yang menjabat jabatan Bupati, pembesar kota Tulungagung. Keluarga disitu sangat dikenal olehnya. Oleh karena itu pernah ada suatu siang salah seorang pembesr melihat seekor ular besar dengan jelas di halaman. Ular tersebut oleh beliau dipasang jerat dan akhirnya dapat dimasukkan ke dalam sebuah karung terus diikat erat-erat digantung dan ditungguinya. Nampak juga seloah-olah karung itu berisikan sesuatu, tetapi lama kelamaan karung itu kempislah.
Setelah diturunkan dan diperiksa ternyata ikatannya masih baik, tetapi setelah karung itu dibuka ternyata kosong. Jelaslah, bahwa ular tadi bukan binatang yang wajar, tetapi kejadian dari Kyai Upas.
Ia bermaksud untuk memberi firasat bahwa ada berita penting bagi Bupati di situ. Firasat itu adalah firasat yang baik, sebab setelah terjadi kejadian itu ada seorang familinya yang dapat naik pangkat tinggi.
Demikianlah cerita orang.
9. CERITERA KYAI UPAS III
CERITERA DI WAJAK
Tentang cerita asal-usul Kyai Upas di Wajak itu ada cerita yang sangat berlainan dengan cerita diatas. Cerita inipun juga menyinggung tentang Mentaok.
Pada waktu itu calon Sultan Mataram masih bernama Kyai Ageng Senopati. Pada suatu hari ia bertamu ke Wajak, disitu ia disuguh sirih oleh Bupati daerah itu.
Wajak adalah suatu daerah yang terletak disebelah selatan Tulungagung, tetapi Tulungagung belum menjadi suatu negeri, masih berwujud hutan kayu tahun. Daerah disebelah timur Tranggalih juga termasuk wilayah Wajak.
Senopati langsung menuju Wajak dengan mengendarai abdinya, seekor kuda yang bernama Djurutaman, ialah seekor kuda jilmaan jin, yang dulu dalam suatu peperangan dapat dialahkan oleh Senopati. Kuda itu diceritakan dapat terbang, dan berkecepatan seperti angin. Pertemuan di Wajak itu disuguhi.dengan pagelaran wayang klitik. Senopati merasa payah, tidur dengan bersandar pada tiang gung. Dalam tidurnya itu ia bermimpi bertemu dengan puteri Bupati itu. Pada waktu itu juga kuda jelmaan itu pulang ke Mataram menjilma sebagai manusia yang menyerupai Senopati. Ia Bermaksud hendak menemui istri senopati di dalam rumah di Mataram.
Senopati yang tidur bersandar pada tiang gung itu tidak mengetahui bahwa kudanya menghianati.
Tengah malam Sunan Kalijogo datang membangunkan dan melemparkannya ke Mentaok. Jurutaman yang menjilma sebagai tunagannya itu diketahui oleh Senopati dan ditusuk matanya yang sebelah kanan dengan cis sehingga menjadi buta sebelah.
Puteri Wajak yang muncul dalam impian tadi beberapa waktu kemudian hamil, padahal ia belum bersuami. Supaya tidak mendapat malu puteri itu harus meninggalkan Wajak menuju ke suatu hutan perawan di daerah Wahung, disitu dia melahirkan bayinya dibuang ketempat yang sunyi. Waktu itu ada seekor ular yang keluar dan terus mengejar bayi yang dibuang itu untuk mencaploknya. Tetapi tidak ditelan, melainkan dikulum saja. Ibu si bayi itu menjadi takut dan malu, terus pergi meniggalkan Wahung Bupati Wajak mengetahui bahwa putrinya pergi. Ia memerintahkan punggawanya untuk mencari puterinya itu. Adapun punggawa yang diperintahkan itu bernama Rijobodo.
Rijobodo terus berangkat mencari, keluar hutan masuk hutan, namun ia tak dapat menemukannya..
Pada suatu ketika ia mendapat ilham, yaitu ia disuruh mencari bekas tempat bayi tadi dibuang. Setelah sampai ke tempat itu diketemukannya sebuah tombak dan ular yang menyaplok bayi tersebut. Lama kelamaan yang dicarinya itu dapat diketemukan, yaitu didaerah Banyuwangi. Sang putri beserta tombak itu terus dibawa pulang. Sesampainya di Wajak diurus, apa sebabnya sampai lolos dari Kabupaten.
Sang Bupati menuduh bahwa Senopati telah membuat aib kepada putrinya. Oleh sebab itu disayembarakan, bahwa barang siapa dapat membunuh Senopati di Mentaok, akan dijadikan pengganti jabatan Tumenggung di Wajak.
Para Menteri menyanggupi. Mereka disuruh memerangi Mentaok dan kepada pemukanya dibawakan tombak tersebut sebagai alat senjatanya. Mereka itupun berangkatlah .
Sesampainya di Mentaok dijumpainya Senopati dan ditusuknya dengan tombak itu menjadi bengkok. Setelah diketahui oleh Senopati akan tombak itu berkatalah :
“Tombakmu itu adalah penjilmaan dari putraku, mana mungkin ia berani kepadaku? Oleh karena itu ia menjadi bengkok.” Sudahlah sekarang ini lebih baik kamu semua pulang saja. Kembalikanlah tombak ini kepada paman Bupati. Tombak ini adalah sebuah senjata yang ampuh, kelak akan menjadi pusaka bagi daerah “ Ngrowo”.
Para Menteri yang memerangi Senopati itu terus pulang ke Wajak dengan tangan hampa. Sesampainya di Wajak dikatakan pesan-pesan Senopati itu kepada Bupati.
Sang Bupati tidak mau menerima tombak itu kembali.
Disuruhnya orang untuk mengembalikan ke asalnya, ke Wahung.
Tumbak itu dikembalikan, dan lenyap dari Wahung.
Kemudian hari banyak orang yang mengetahui bahwa tombak tadi terdapat tegak menancap di bumi daerah Wahung, dengan dikerumuni oleh tombak-tombak yang lain, yang banyak jumlahnya. Setelah didengar oleh Bupati Wajak akan berita itu, lalu disayembarakan, bagi siapa saja yang dapat mengambil Kyai Upas, dialah calon pembesar ditempat itu. Kemudian hari ternyata seorang yang dapat mengambilnya.
Orang itu bernama Ronggo Katepan Ngabehi. Nenurut cerita orang, Ronggo tersebut tidak berpusar dan sangat sakti.
10. CERITERA KYAI UPAS IV
PUSAKA KYAI UPAS
Kyai upas adalah nama sebuah pusaka berbentuk tombak, dengan landeannya sepanjang tidak kurang dari 5 meter. Pusaka ini berasal dari Mataram yang dibawa oleh R.M. Tumenggung Pringgodiningrat putra dari pangeran Notokoesoemo.diPekalongan yang menjadi menantu Sultan Jogyakarta ke II (Hamengku Buwono II yang bertahta pada tahun 1792-1828), ialah ketika R.T Pringgodiningrat diangkat menjadi Bupati Ngrowo (Tulungagung sekarang). Disamping pusaka itu ada kelengkapannya yang dalam istilah Jawa disebut “pangiring” berwujud 1 pragi gamelan pelok slendro yang diberi nama “Kyai Jinggo Pengasih” beserta 1 kotak wayang purwo lengkap dengan kelirnya.
Pusaka dan pengiring ini tidak boleh dipisahkan dan sekarang tersimpan dibekas pensiunan Bupati Pringgokusumo di desa Kepatihan Tulungagung. Inilah yang oleh masyarakat Tulungagung dianggap sebagai pusaka daerah.
Sejak dari R.M Tumenggung Pringgodiningrat pusaka tadi dipelihara baik– baik, turun temurun kepada R.M. Djayaningrat (Bupati Ngrwo V) lalu kepada R.M Somodiningrat (Bupati ke VI) kemudian kepada R.T. Gondokoesoemo (Bupati ke VIII) dan selanjutnya diwariskan kepada adiknya ialah R.M Tumenggung Pringgokoesoemo (Bupati Ngrowo yang ke X).
Setelah R.M.T Pringgokoesoemo pensiun dalam tahun 1895 dan wafat pada tahun 1899, maka pemeliharaan pusaka diteruskan oleh Raden Aju Jandanya, sedang hak temurun pada puteranya yang bernama R.M Moenoto Notokoesoemo Komisaris Polisi di Surabaya. Sejak tahun 1907 pemeliharaan pusaka berada di tangan menantu dari R.M.T Pringgokoesoemo yaitu R.P.A Sosrodiningrat Bupati Tulunngagung yang ke XIII, dan sejak jaman Jepang diteruskan oleh saudaranya yang bernama R.A Hadikoesoemo. Setelah R.A Hadikoesoemo wafat tugas ini diambil alih kembali oleh R.M. Notokoesoemo.
PERANAN KYAI UPAS SEBAGAI PENOLAK BANJIR.
Baik dari bupati-bupati lama, dari keluarga Pringgokoesoemo maupun dari masyarakat Tulungagung sendiri timbul suatu kepercayaan, bahwa pusaka kyai Upas adalah pusaka bertuah penolak banjir dan penjaga ketentraman bagi daerah kabupaten Tulungagung. Tidak sedikit cerita – cerita mengenai hal ini diantaranya :
I. Waktu R.M. Moesono masih kanak-kanak dan berkumpul serumah dengan eyangnya putri Pringgokoesoemo, pernah diberi keterangan, bahwa sebelum tahun 1895 Tulungagung pernah mengalami banjir besar sampai air masuk ke alun-alun dan rumah Kabupaten. Pada waktu itu pusaka Kyai Upas tidak berada di Tulungagung melainkan dibawa oleh R. Pringgokoesoemo ketika masih menjabat Wedono di Pare (Kediri). Masyarakat mempunyai kepercayaan bilamana pusaka Kyai Upas dibawa kembali ke Tulungagung, air bah akan hilang. Pendapat itu ternyata benar, dengan pembuktian ketika R. Pringgokoesoemo Wedono Pare diangkat oleh Pemerintah Belanda menjadi Bupati Tulungagung dan pusaka Kyai Upas ikut di boyong maka ternyata banjir Tulungagung sangat berkurang.
Pada tahun 1942 Kabupaten Tulungagung tertimpa bahaya banjir yang luar biasa sampai terciptakan lagu “Oh nasib Tulungagung”.
Pusaka Kyai Upas pada waktu itu dijaga tidak berada di Tulungagung karena dibawa ke Surabaya untuk pengayoman dengan tujuan bilamana tentara sampai masuk ke kota Surabaya janganlah sampai timbul pertumpahan darah dan keadaanya lekas menjadi aman.
Timbullah suatu rabaan dari P.A Sosrodiningrat banjirnya Tulungagung dikarenakan pusaka daerah selang tidak berada di tempatnya.
Dengan segera beliau pergi ke Surabaya untuk mengambilnya.
Pusaka itu ditaruhnya didalam mobil tetapi mengingat penjangnya landean terpaksa sampai mengorbankan memecah kaca mobil bagian muka dan belakang.
Setelah pusaka kembali ke Tulungagung, maka air menjadi surut.
KYAI UPAS PADA JAMAN PERANG KEMERDEKAAN
Pada tahun 1946 Bapak Gubernur Soerjo pernah menyerukan kepada rakyat seluruh Jawa Timur agar semua pusaka-pusaka daerah yang ampuh milik rakyat dikeluarkan dan dipergunakan untuk membendung kemajuan gerak tentara kolonial Belanda yang ingin menjajah kembali.
Pada Waktu itu datanglah utusan Bung Tomo yang mengaku bernama Nangkulo beserta 2 orang temannya di Tulungagung dengan naik mobil yang kemudian menghadap P.A Sosrodhiningrat Bupati Tulungagung, mohon diizikan membawa Kyai Upas ke garis depan.
Pusaka diserahkan dan terus dibawa ke Somobito. Dalam kenyataan musuh tidak terus maju, tetapi berhenti di desa Curahmalang. Kyai Upas berada di garis depan selama ± 3 bulan dan diantarkan kembali ke Tulungagung oleh R. Moesono Bupati Surabaya dengan didampingi oleh R.M. Moenoto Notokoesoemo Komisaris Polisi Kota Surabaya (pewaris pusaka) dengan naik mobil dinas yang disupiri oleh orang bernama Badjuri (juga sekarang sudah pensiun dan bertempat tinggal di Wonokromo Surabaya).
Ketika Kyai Upas dibawa ke garis depan didampingi pula oleh 2 buah pusaka berupa tombak berasal dari Pringgopuran desa Kutoanyar tetapi 2 puasaka ini tidak kembali (hilang).[2]
PEMELIHARAAN PUSAKA SECARA TRADISIONAL
Pusaka Kyai Upas telah dipelihara dengan secara tradisional oleh keturunan Bupati Ngrowo. Tugas pemeliharaan ini termasuk suatu kewajiban.
Adapun yang menerima penyerahan tugas paling akhir berdasarkan keputusan bersama dari keluarga Bupati Pringgokoesoemo ialah R.M Moenoto Notokoesoemo. Tugas ini juga dilaksanakan dengan sebaik-baiknya.
Ketika P.A Sosrodiningrat masih menjabat Bupati Tulungagung maka upacara siraman pada tiap tahunnya dilaksanakan dengan sangat teliti menurut tradisinya.
Selain upacara peralatan lengkap, pada malam harinya para sesepuh, pejabat-pejabat Pamong Praja dan Dinas Jawatan bersama istrinya didatangkan untuk melihat pertunjukan wayang purwo semalam suntuk. Biaya penyelenggaraan siraman dipikul bersama oleh keluarga R.M Moenoto Notokoesoemo. Setelah R.M Moenoto Notokoesoemo meninggal dunia, maka penyelenggaraan siraman diadakan secara sederhana oleh janda almarhum, yaitu Ibu Moenoto Notokoesoemo.
Diantara Bupati-bupati sesudah Pangeran Sosrodiningrat maka Bupati K.D.H R. Soenardi menaruh perhatian besar terhadap upacara siraman ini. Beliau telah menghadiri upacara bersama-sama stafnya dari anggota D.P.R.D.G.R
Pernah disampaikan sumbangan uang untuk kepentingan selamatan juga selubung pusaka sebagai ganti selubung yang lama.
PERLENGKAPAN WAKTU SIRAMAN
Selain siraman yang diselenggarakan pada tiap-tiap tahun, maka sebagai pemeliharaan pada tiap-tiap hari Kamis siang diadakan sajen berupa :
Ayam panggang hitam mulus dua ekor.
Satu ambengan apem berisi 28 biji.
Dua buceng nasi gurih
Gantenan lengkap (untuk makan sirih)
2 lirang pisang raja.
Bunga melati yang dironce.
Clupak minyak jarak sebagai lampunya.
Barang-barang tersebut harus disajikan di dalam kamar pusaka oleh embannya. Pada waktu Kyai emban menyajikan sajen itu, lampu clupak yang berisi minyak jarak harus dinyalakan disertai membakar kemenyan (dupa).
Pada sore hari sajen-sajen tadi diundurkan dari kamar pusaka untuk dikendurikan.
Disamping itu pada tiap-tiap tahun bertepatan pada hari Jum’at upacara siraman ini harus disediakan sajen-sajen sebagai berikut:
Panggang ayam tulak, ayam walik, ayam putih mulus, ayam hitam mulus, ayam lurik sekul dan lain sebagainya (7 macam)
Bermacam-macam polo kependem (Knolgewassen) antar lain kacang brul, ubi-ubian, kentang hitam, kentang putih, ketela rambat, ketela pohon dan lain sebagainya.
Jenang Sengkolo, bubur suran lengkap dengan lauk pauknya sebagaimana biasanya untuk selamatan suran.
Pisang Raja Ayu.
Air dari 7 sumber (Tuk) dan air laut yang dipergunakan untuk siraman pertama.
Tebu dan janur.
Segala macam ikan sungai (ikan tawar).
Segala macam jajanan pasar.
Daging lembu 27 macam (27 potong).
Pada hari kamis sore menjelang siraman banyak ibu-ibu yang datang membantu masak-masak dan menyiapkan sajen untuk dikendurikan pada hari Jum’at pagi.
Yang memasak jenang dan bubur suran menurut tradisi harus dipilihkan seorang Ibu yang sudah lanjut usianya (bahasa jawa Luas sari)
Pada hari Jum’at pagi biasanya telah banyak yang datang banjir pada upacara siraman itu, terutama para pensiunan. Sekitar jam 9.30 pagi, setelah pusaka tersebut dikeluarkan dari kamar pusaka, maka diiringi dengan gamelan monggang yang terus menerus sampai akhir siraman dan sampui pusaka tersebut dikembalikan ke kamar pusaka.
Disamping itu diadakan pembacaan tahlil oleh paling sedikit 20 orang santri. Selesai siraman diadakan kenduri.
Yang mendapat tugas untuk menyirami pusaka tersebut ialah Kyai Emban yang turun temurun itu.
Sebagai penutup dalam rangkaian upacara ini pada malam harinya diadakan pertunjukan wayang kulit semalam suntuk.
Demikianlah sejarah Kyai Upas, Pusaka tradisional Kabupaten Tulungagung.
Sumber : http://budparpora.wordpress.com/2009/09/26/bagian-kedua-lembar-iii-babad-tulungagung/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar